Monday, September 2, 2013

Isolasi Flavonoid Daun Dandang Gendis (part 2)

Praktikum Kimia Organik Bahan Alam

Isolasi Flavonoid Daun Dandang Gendis

Pendahuluan
               Dandang gendis (Clinacanthus nutans) merupakan tanaman obat yang terkenal di Thailand (dikenal sebagai phaya yaw di Thailand) dan digunakan untuk mengobati berbagai gejala penyakit seperti infeksi herpes. Ekstrak etanolnya dapat melawan hemolisis terinduksi radikal bebas (sebagai antioksidan)(Pannangpetch et al. 2007). Ekstrak etanol daunnya dengan dosis tertinggi (1.3 g/kg) yang diberikan secara oral terhadap tikus tidak menunjukkan tanda-tanda toksisitas akut (Chavalittumrong et al 1995).  Selain itu, ekstrak daunnya dilaporkan memiliki aktivitas analgesik dan anti inflamasi, aktivitas antivirus terhadap virus varicella-zoster, dan herpes simplex virus type-2 (Sakdarat et al. 2006). Investigasi fitokimia dan kimia yang dilakukan terhadap dandang gendis mengindikasikan terdapat stigmasterol, lupeol, β-sitosterol, dan belutin. Enam senyawa C-glikosil flavon, viteksin, isoviteksin, shaftosida, isomolupentin-7-Oβ-glukopiranosida, orientin, isoorientin, lima senyawa glikosida mengandung sulfur, dua glikogliserolipid, suatu campuran dari 9 serebrosida, dan suatu monoasilmonogalatosilgliserol telah diisolasi dari dandang gendis (Sakdarat et al. 2006).
               Salah satu senyawa metabolit sekunder yang menjadi pusat perhatian adalah flavonoid. Flavonoid mengandung sistem aromatik yang terkonjugasi sehingga menunjukan pita serapan kuat pada daerah spektrum UV dan spektrum tampak. Data spektrum UV-tampak dapat digunakan untuk membentu mengidentifikasi jenis flavonoid dan menentukan pola oksigenasi. Selain itu, kedudukan gugus hidroksil fenol bebas dapat ditentukan dengan menambahkan pereaksi geser ke dalam larutan cuplikan dan mengamati pergeseran puncak serapan yang terjadi. Artinya, secara tidka langsung berguna untuk menentukan kedudukan gula atau metil yang terikat pada salah satu gugus hidroksil (Markham 1988). Senyawa flavonoid biasanya memiliki spektrum yang khas, yang terdiri atasdua serapan maksimum pada dua panjang gelombang, yaitu pada rentang 240-285 nm (pita II) dan 300-550 nm (pita I). Kedua pita serapan ini masing-masing berhubungan dengan resonansi gugus sinamoil yang melibatkan cincin B dan gugus benzoil yang melibatkan cincin A dari molekul flavonoid (Achmad 1986).

Tujuan Praktikum
Praktikum bertujuan mengidentifikasi jenis flavonoid dalam dandang gendis dengan pereaksi geser pada spektrum UV-tampak.

Alat dan Bahan
Alat yang digunakan diantaranya gelas piala, pipet tetes, spektrofotometer UV-vis, dan seperangkat komputer pengolah data.

Prosedur kerja
               Mula-mula metanol yang dijadikan blanko dipayar dengan UV-tampak sebagai baseline. Kemudian sebanyak 12 tetes sampel yang telah diencerkan sebelumnya dalam metanol dibuat spektrum UV-tampaknya (spektrum 1). Setelah spektrum 1 terbentuk, sebanyak 3 tetes larutan NaOCH3 ditambahkan ke dalam kuvet sampel, dihomogenkan, dan dipayar dengan UV-tampak lagi (spektrum 2). Kemudian, kuvet diisi dengan sampel segar dan ditambahkan seujung sudip kristal CH3COO-Na+, dihomogenkan, dan dipayar dengan UV-tampak lagi (spektrum 3). Setelah spektrum 3 terbentuk, seujung sudip asam borat padat ditambahkan ke dalam kuvet sampel, dihomogenkan, dan dipayar kembali dengan UV-tampak (spektrum 4). Kemudian kuvet diisi kembali dengan sampel segar, ditambahkan 3 tetes AlCl3 5% dalam metanol, dihomogenkan, dan dipayar dengan UV-tampak lagi (spektrum 5). Setelah spektrum 5 terbentuk, 3 tetes HCl 20% ditambah ke dalam kuvet dan dipayar lagi dengan UV-tampaknya (spektrum 6). Kemudian puncak-puncak serapan keenam spektrum tersebut diamati dan dibandingkan untuk mengidentifikasi flavonoid dalam dandang gendis yang diuji.
              
Hasil dan Pembahasan
               Identifikasi flavonoid yang terdapat dalam ekstrak daun dandang gendis dilakukan dengan melibatkan pereaksi geser. Pereaksi geser yang digunakan dalam identifikasi ini di antaranya NaOCH3, CH3COO-Na+-H3BO3, dan AlCl3 5% dalam metanol-HCl 20%. Hasil payaran sampel dengan dan tanpa penambahan pereaksi geser ditunjukan pada gambar berikut.
 (a)
 (b)
 (c)
 (d)
 (e)
 (f)
 (g)

Gambar 1 Hasil payar UV (a) sampel (b) sampel + NaOCH3 (c) sampel + CH3COO-Na+ (d) sampel + CH3COO-Na+ +H3BO3 (e) Sampel +AlCl3      (f) sampel+AlCl3 5%+HCl 20% (g) kumpulan payaran a-f

Hasil payaran terhadap sampel dan sampel yang ditambah dengan NaOCH3 sebagai pereaksi geser tidak menunjukkan pergeseran  pita II sebesar 1.8 nm (dari 283.8 sampai285.6 nm) dan tidak menunjukan pita I. Adapun penambahan pereaksi CH3COO-Na+ menunjukan pergeseran  pita II sebesar 1 nm (dari 283.8 sampai 284.8 nm) dan tidak menunjukkan pita I. Penambahan H3BO3 setelah itu tidak menunjukkan pergeseran  pita II,tetapi hanya menunjukkan sedikit penambahan serapan. Penambahan pereaksi geser berikutnya yaitu AlCl3 5% menunjukkan pergeseran  pita II sebesar 81.4 nm ke arah  yang lebih pendek (hipsokromik) (dari 283.8 sampai 202.4 nm). Penambahan HCl 20% setelah itu sama sekali tidak menggeser  pita II dari spektrum sampel+AlCl3 ataupun meningkatkan serapannya.
               Penambahan pereaksi geser NaOCH3 ataupun CH3COO-Na+-H3BO3 sama sekali tidak menunjukan perubahan yang signifikan. Artinya tidak ada penambahan ikatan terkonjugasi dalam struktur senyawa tersebut. Seharusnya penambahan gugus fungsi yang dapat menyumbangkan elektron seperti gugus hidroksil atau metoksil pada cincin B (gambar 1) akan meningkatkan peranan sinamoil terhadap resonansi molekul yang menyebaban efek batokromik pada pita I. Penambahan gugus hidroksil atau metoksil pada cincin A akan menaikkan panjang gelombang dari serapan maksimum serta intensitas dari serapan pita II (Achmad 1986). Namun, pita I bahkan tidak muncul ketika pereaksi geser ditambahkan ke dalam sampel. Hal ini mungkin terutama disebabkan oleh terlalu encernya sampel yang digunakan sehingga tidak memberikan pita serapan yang kuat pada daerah tertentu di spektrum yang dihasilkan. Kemungkinan lain adalah pengaruh pereaksi yang digunakan karena sudah terlalu lama disimpan atau sudah terkontaminasi.
               Penambahan pereaksi geser AlCl3 5% cukup memperlihatkan perbedaan terhadap pita serapan II sampel yaitu pergeseran ke panjang gelombang yang lebih pendek (efek hipsokromik). Seharusnya penambahan AlCl3 5% ini akan membentuk kompleks dengan gugus hidroksil dan gugus karbonil sehingga terjadi geseran batokromik dan mengalami geseran hipsokromik setelah ditambah HCl karena penguraian kembali kompleks tersebut (Markham 1988). Hal ini mungkin disebabkan oleh kontaminasi terhadap pereaksi AlCl3 sehingga kondisinya menjadi asam dan telah menunjukan efek hipsokromik sebelum ditambah HCl. Hasil payaran dengan pereaksi geser ini tidak cukup untuk mengidentifikasi jenis flavonoid yang terdapat dalam sampel karena tidak munculnya pita serapan I.


Daftar Pustaka

Achmad SA.1986. Kimia Organik Bahan Alam. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Universitas Terbuka.
Chavalittumrong P, Attawish A, Rungsamon P, Chungtapet P. 1995. Toxicological study of Clinacanthus nutans (Burm.f) Lindau. Bulletin of The Department of Medical Services 37:323-338.
Markham KR. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Padmawinata K, penerjemah; Bandung:ITB. Terjemahan dari:
Pannangpetch P et al.. 2007. Antioxidant activity and protective effect against oxidative hemolysis of Clinacanthus nutans (Burm.f) Lindau. Songklanakarin J. Sci. Technol. 29: 1-9
Sakdarat S et al.. 2006. Chemical composition investigation of the Clinacanthus nutans Lindau leaves. The journal of Phytopharmacy 13(2): 13-24

Isolasi Nikotin

Laporan Praktikum Kimia Organik Bahan Alam


Isolasi dan Penentuan Kadar Nikotina Tembakau

Pendahuluan
            Alkaloid merupakan golongan metabolit sekunder tumbuhan yang terbesar. Pada umumnya alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen baik sebagai bagian dari sistem heterosiklik atau bukan bagiannya. Alkaloid biasanya tanwarna, sering kali bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal, tetapi hanya sedikit yang berupa cairan (misalnya nikotina) pada suhu kamar (Harborne 2006). Alkaloid dapat dikelompokan menjadi alkaloid sesungguhnya, protoalkaloid, pseudoalkaloid. Alkaloid sesungguhnya adalah racun, menunjukan aktivitas fisiologi yang luas, dan biasanya terdapat dalam tanaman sebagai garam asam organik. Protoalkaloid merupakan asam amino yang relatif sederhana dengan nitrogen asam amino tidak terdapat dalam cincin heterosiklik. Pseudoalkaloid tidak diturunkan dari prekursor asam amino. Senyawa ini biasanya bersifat basa. Ada dua seri alkaloid yang penting dalam kelas ini, yaitu alkaloid stereoidal dan purin (Pranata 1997).
            Nikotina merupakan suatu cairan alkaloid berwarna kuning pucat hingga coklat tua yang ditemukan dalam tanaman Solanaceae. Kadar nikotin merupakan kunci untuk menentukan kualitas tembakau. Banyak faktor yang memengaruhi kadar nikotin ini, yaitu jenis tembakau, jenis tanah, kadar nitrogen tanah, tingkat kematangan tembakau, dan masa penguningan (Tassew 2007). Senyawa ini terdapat sekitar 0.6-3 % dalam tembakau kering. Senyawa ini dibentuk selama biosintesis yang berlangsung di akar dan terakumulasi di daun (Chitra dan Sivaranjani 2012).  Nikotina bersifat higroskopis, dapat bercampur dengan air pada suhu di bawah 60 °C, sangat larut dalam alkohol, kloroform, eter, kerosin, dan sejenisnya (Tassew 2007). Keberadaan nikotina ini dapat diuji dengan menggunakan berbagai pereaksi seperti pereaksi Mayer, Dragendorf, dan Wagner. Struktur dari nikotina adalah sebagai berikut.
Gambar 1 Struktur nikotina





Tujuan Praktikum
Praktikum bertujuan mengekstrak nikotina dari daun tembakau kering, menguji kualitatif keberadaannya dengan pereaksi Mayer, Dragendorf, dan Wagner, serta mengukur kandungannya dalam contoh.

Alat dan Bahan
Alat yang digunakan di antaranya gelas piala, tabung reaksi, hot plate, neraca analitik, dan penguap putar. Bahan yang digunakan di antaranya daun tembakau kering, petroleum eter, NaOH 20%, pereaksi Mayer, Dragendorf, dan Wagner, boraks, H2SO4 2 M, dan HCl 0.01 N.

Prosedur

Isolasi nikotina
            Mula-mula 20 g tembakau kering dimasukan ke dalam erlenmeyer bertutup asah. Kemudian sebanyak 20 mL NaOH 20% ditambahkan ke dalamnya dan diaduk merata. Setelah itu, 300 mL petroleum eter ditambahkan, ditutup rapat, dan dikocok. Kemudian residu tembakau dipisahkan dari filtratnya dengan penyaringan gravitasi. Setelah itu, Na2SO4 anhidrat ditambah ke dalam filtrat yang diperoleh dan didiamkan sebentar. Kemudian ektrak petroleum eter tersebut dipekatkan dan dihitung kadar nikotinanya.

Uji kualitatif untuk alkaloid
            Mula-mula sebanyak 0.3 g ekstrak dilarutkan ke dalam 10 mL kloroform-amonia dan disaring. Kemudian beberapa tetes H2SO4 2 M ditambah ke dalam filtrat dan dikocok hingga terbentuk 2 lapisan. Lapisan asam yang tidak berwarna dipipet ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan pereaksi Mayer, Dragendorf, atau Wagner. Jika terdapat endapan putih, endapan merah jingga, atau endapan coklat ketika berturut-turut pereaksi Mayer, Dragendorf, atau Wagner ditambah ke dalam filtrat maka terdapat alkaloid dalam ekstrak tersebut.

Penetapan nikotina
            Mula-mula sebanyak 1 g tembakau yang telah dihaluskan dimasukan ke dalam erlenmeyer 50 mL bertutup asah, ditambahkan 1 mL NaOH 20%, dan diaduk rata. Kemudian sebanyak 20 mL petroleum eter ditambahkan, ditutup rapat, dikocok, dan didiamkan beberapa saat. Setelah batas lapisan petroleum eter terlihat jelas, sebanyak 10 mL cairan petroleum eter diambil dan dipindahkan ke erlenmeyer lain. Kemudian cairan petroleum eter tersebut diuapkan di atas penangas air hingga hanya tersisa sekitar 2 mL. Setelah itu 10 mL akuades dan 2 tetes indikator merah metil ditambahkan ke dalam erlenmeyer. Kemudian larutan tersebut dititrasi dengan 0.01 N HCl hingga warna hijau kekuningan berubah menajdi merah muda. Penetapan ini dilakukan duplo.

Standardisasi HCl
            Mula-mula sebanyak 50 mL larutan boraks 0.01 N dibuat. Sebanyak 10 mL larutan ini kemudian diambil ke dalam erlenmeyer dan dititrasi dengan HCl yang akan distandardisasi dengan menggunakan indikator merah metil. Stadardisasi dilakukan triplo.

Hasil dan Perhitungan

Isolasi nikotina
Bobot tembakau      = 20.60 g
Bobot labu kosong   = 184.95 g
Bobot ekstrak          = 0.3572 g


Uji kualitatif alkaloid

Tabel 1 Hasil uji kualitatif alkaloid

Penetapan kadar nikotina

Tabel 2 Hasil penentuan kadar nikotina

Standardisasi HCl

Pembuatan larutan boraks 0.01 N

Tabel 3 Hasil standardisasi HCl
Pembahasan

Nikotina yang merupakan alkaloid diekstraksi dari tembakau kering. Mula-mula basa NaOH ditambahkan ke tembakau kering. Penambahan basa ini bertujuan menggaramkan asam yang tergabung dengan nikotina yang terdapat dalam tembakau karena nikotina umumnya tergabung dengan asam yang terdapat dalam tumbuhan. Nikotina sendiri merupakan basa (basa Lewis) yang ditandai dengan adanya pasangan elektron bebas pada atom nitrogen. Kemudian penambahan basa ini dilanjutkan dengan penambahan petroleum eter. Penambahan petroleum eter ini bertujuan mengekstrak nikotina dari tembakau kering yang sudah diadakan sebelumnya. Seharusnya terbentuk dua lapisan antara petroleum eter dan basa NaOH. Batas antara dua senyawa tersebut tidak terlihat mungkin disebabkan oleh ketidakmurnian senyawa yang digunakan sehingga kedua senyawa tersebut dapat tercampur. Petroleum eter berfungsi melarutkan nikotina yang telah terbebas dari asam karena nikotina dapat larut dalam pelarut seperti petroleum eter. Ekstrak yang diperoleh dari ekstraksi nikotina ini adalah sebesar 0.3572 g dari 20.60 g tembakau kering yang digunakan.
Kadar Nikotina dalam 1 g tembakau kering terdeteksi sebesar  31.8157 mg/g atau setara dengan 3.1816%. Hasil ini sesuai dengan kadar nikotina yang telah dinyatakan sebelumnya. Penetapan kadar nikotina dilakukan dengan titrasi menggunakan HCl yang telah di standardisasi sebelumnya dengan boraks. Standardisasi ini perlu dilakukan karena HCl berbentuk larutan dan HCl tidak stabil di udara terbuka. Boraks dipilih sebagai standar primer karena kemurniannya yang tinggi, stabil dalam keadaan biasa, dan memiliko bobot ekivalen yang tinggi (Harjadi 1986).
Gambar 1 Hasil uji kualitatif alkaloid (a) pereaksi Mayer (b) pereaksi Dragendorf (c) pereaksi Wagner

Keberadaan alkaloid khususnya nikotina dalam ekstrak yang diperoleh diuji secara kualitatif dengan menggunakan pereaksi Mayer (sol kalium tetra iodo merkurat), Dragendorf ( sol kalium bismut iodida), dan Wagner (I2 dalam Kalium iodida). Uji kualitatif yang dilakukan hanya menunjukkan hasil positif keberadaan alkaloid pada penambahan pereaksi Dragendorf dan Wagner (gambar 1). Ini ditunjukan dengan munculnya endapan merah jingga pada penambahan pereaksi Dragendorf dan endapan coklat pada penambahan pereaksi Wagner. Tidak munculnya endapan putih pada penambahan pereaksi Mayer mungkin terutama disebabkan oleh tidak segarnya pereaksi Mayer yang digunakan. Bagaimana pun, hasil uji ini menunjukan keberadaan alkaloid dalam tembakau kering yang diuji.

Simpulan
            Nikotina dapat diekstrak dan ditentukan kadarnya dari daun tembakau kering dengan menggunakan petroleum eter karena kemampuannya untuk larut dalam solven ini. Keberadaanya dalam ekstrak yang diperoleh dapat diketahui dengan menggunakan pereaksi Mayer, Dragendorf, atau Wagner. Hasil uji akan sesuai jika pereaksi yang digunakan masih baik dan segar.


DAFTAR PUSTAKA

Chitra S, Sivaranjani K. 2012. A comparative phytochemical analysis of tobacco and its natural extract-an eccentric approach. International Journal of Pharmacy and Pharmaeutical Sciences 4: 1-2
Harborne JB. 2006. Metode Fitokimia. Padmawinata K, Soediro I, penerjemah; Niksolihin S, editor. Bandung: ITB. Terjemahan dari: Phytochemical Methods.
Harjadi W. 1986. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Jakarta: PT Gramedia.
Pranata FS. 1997. Isolasi alkaloid dari bahan alam. Biota 2: 96-99
Tassew Z. 2007. Levels of nicotine in Ethiopian tobacco leaves [disertasi] Addis Ababa: Addis Ababa University.

Isolasi Flavonoid Daun Dandang Gendis

Praktikum Kimia Organik Bahan Alam

Isolasi Flavonoid Daun Dandang Gendis

Pendahuluan
               Dandang gendis (Clinacanthus nutans) merupakan tanaman obat yang terkenal di Thailand (dikenal sebagai phaya yaw di Thailand) dan digunakan untuk mengobati berbagai gejala penyakit seperti infeksi herpes. Ekstrak etanolnya dapat melawan hemolisis terinduksi radikal bebas (sebagai antioksidan)(Pannangpetch et al. 2007). Ekstrak etanol daunnya dengan dosis tertinggi (1.3 g/kg) yang diberikan secara oral terhadap tikus tidak menunjukkan tanda-tanda toksisitas akut (Chavalittumrong et al 1995).  Selain itu, ekstrak daunnya dilaporkan memiliki aktivitas analgesik dan anti inflamasi, aktivitas antivirus terhadap virus varicella-zoster, dan herpes simplex virus type-2 (Sakdarat et al. 2006). Penelitian efek fisiologis terhadap dandang gendis menunjukan bahwa ekstrak air daun dandang gendis dapat menurunkan gula darah hewan coba dengan menggunakan metode toleransi glukosa dengan keaktifan sebesar 64.77% dibandingkan tolbutamid (Nurulita et al. 2008). Investigasi fitokimia dan kimia yang dilakukan terhadap dandang gendis mengindikasikan terdapat stigmasterol, lupeol, β-sitosterol, dan belutin. Enam senyawa C-glikosil flavon, viteksin, isoviteksin, shaftosida, isomolupentin-7-Oβ-glukopiranosida, orientin, isoorientin, lima senyawa glikosida mengandung sulfur, dua glikogliserolipid, suatu campuran dari 9 serebrosida, dan suatu monoasilmonogalatosilgliserol telah diisolasi dari dandang gendis (Sakdarat et al. 2006).
               Flavonoid berlimpah dalam sel fotosintesis sehingga banyak tersebar dalam tanaman. Pada daun senyawa ini dipercaya dapat meningkatkan ketahanan fisiologis tanaman misalnya ketahanan terhadap kapang patogen dan radiasi UV-B. Struktur dasar dari senyawa flavonoid adalah 2-fenil-benzo[α[piran atau inti flavan yang terdiri atas dua cincin benzena dan terhubung melalui cincin piran heterosiklik. Flavonoid dapat diklasifikasikan berdasarkan asal biosintesisnya. Beberapa kelas seperti kalkon, flavanon, flavan-3-ol, dan flavan-3,4-diol, semuanya merupakan produk biosintesis yang terakumulasi dalam jaringan tumbuhan. Kelas lain yang hanya dikenal sebagai produk akhir dari biosintesis misalnya antosianidin, proantosianidin, flavon, dan flavonol. Dua kelas tambahan dari flavonoid yaitu isoflavon dan isoflavonoid terkait diperoleh dari isomerisasi rantai samping 2-fenil dari flavanon ke posisi 3. Neoflavonoid dibentuk melalui isomerisasi dari posisi 4. Flavonoid memiliki banyak kegunaan seperti aktivitas anti inflamasi, aktivitas oestrogenik, inhibisi enzim, aktivitas anti mikroba, anti alergi, anti oksidan, aktivitas vaskular, dan aktivitas sitotoksik anti tumor (Chusnie et al. 2005). Pengaturan sintesis enzim yang mengontrol biosintesis flavonoid dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan seperti cahaya, patogen, dan bakteri simbiotik (Mahajan et al. 2011).
Struktur dasar dari flavonoid adalah sebagai berikut.
 




                                                                                                                                                    

Tujuan Praktikum
Praktikum bertujuan mengisolasi senyawa flavonoid dari daun dandang gendis.

Alat dan Bahan
Alat yang digunakan di antaranya corong pisah, gelas piala, seperangkat alat refluks, mantel pemanas, hot plate, penguap putar dan labu erlenmeyer. Adapun bahan yang digunakan di antaranya ekstrak etanol daun dandang gendis, etanol, n-heksana, HCl 2 N, dan etil asetat.

Prosedur Kerja
Isolasi senyawa flavonoid daun dandang gendis
Mula-mula ekstrak etanol daun dandang gedis yang telah tersedia dimasukan ke dalam corong pisah hingga sepertiga volumenya. Kemudian etanol ditambahkan ke dalam corong pisah hingga setengah volumenya. Setelah itu sebanyak 50 mL n-heksana dimasukkan ke dalam corong pisah. Kemudian, ekstrak etanol daun dandang gendis tersebut diekstraksi dengan n-heksana. Ekstraksi dengan n-heksana ini dilakukan triplo. Lapisan n-heksana kemudian dipisahkan dari ekstrak etanol. Setelah itu, ekstrak etanol direfluks dengan 100 mL HCl 2N pada suhu 100 °C selama 60 menit. Ekstrak daun yang terhidrolisis kemudian didinginkan dan dipindahkan ke dalam corong pisah. Setelah itu, sebanyak 50 mL etil asetat ditambahkan ke dalam corong pisah lalu diekstraksi sebanyak 3 kali. Fraksi etil asetatnya kemudian dipisahkan dan dipkatkan hingga cukup pekat.


Hasil dan Pembahasan
           
            Flavonoid merupakan senyawa fenol sehingga dapat larut dalam air. Senyawa golongan ini dapat diekstraksi dengan etanol 70% dan tetap ada dalam lapisan air setelah ekstrak ini dikocok dengan eter minyak bumi atau pelarut non polar lain seperti n-heksana (Harborne 2006). Etanol lebih digunakan untuk mengekstraksi daun dandang gendis dibandingkan kloroform terkait dengan kepolarannya dan tingkat bahayanya (kloroform bersifat karsinogen). Etanol 70% lebih bersifat polar dibandingkan kloroform untuk mengekstak dan mengisolasi senyawa flavonoid yang juga bersifat polar dengan sejumlah gugus hidroksil, baik yang terikat maupun yang tidak terikat gula (Markham 1988). Selain itu, aktivitas antioksidan tanaman obat dalam etanol 70% lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa pelarut lainnya (Macari et al 2006). Seharusnya maserasi dilakukan berulang kali hingga filtrat tidak berwarna hijau lagi sehingga dapat dianggap semua senyawa berbobot molekul rendah telah terekstraksi (Harborne 2006).
            Setelah maserasi dilakukan, ektrak etanol daun dandang gendis kemudian dipartisi cair-cair dengan n-heksana untuk menghilangkan lipid seperti yang dinyatakan sebelumnya bahwa daun dandang gendis mengandung β-sitosterol dan stigmasterol yang termasuk steroid. Setelah partisi cair-cair ini dilakukan  ektrak etanol kemudian dihidrolisis asam selama 60 menit. Hidrolisis asam ini bertujuan memecah flavonoid ke dalam bentuk aglikonnya dan memutus gula dari aglikon flavonoid. Aglikon umumnya memiliki daya antioksidan dan penangkap radikal lebih tingi daripada glikosida flavonoid karena pada glikosida flavonoid gugus hidroksil fenolik yang merupakan gugus aktif antioksidan ataupun penangkap radikal telah mengikat gugus gula (Cholisoh&Utami 2008). Flavonoid umumnya terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida dan aglikon flavonoid  yang mungkin saja terdapat dalam satu tumbuhan dalam beberapa bentuk kombinasi glikosida (Harborne 2006). Hasil hidrolisis kemudian dipartisi dengan etil asetat untuk memisahkan aglikon flavonoid dari gulanya sehingga aglikon flavonoid akan berada dalam fraksi etil asetat, sedangkan gulanya akan berada dalam fraksi air (Markham 1988).

DAFTAR PUSTAKA

Chavalittumrong P, Attawish A, Rungsamon P, Chungtapet P. 1995. Toxicological study of Clinacanthus nutans (Burm.f) Lindau. Bulletin of The Department of Medical Services 37:323-338.
Cholisoh Z, Utami W. 2008. Aktivitas penangkap radikal ekstrak etanol 70% biji jengkol (Arehidendron jiringa). Pharmacon 9:33-40
Cushnie TPT, Lamb AJ. 2005. Review antimicrobial activity of flavonoids. International Journal of Antimicrobial Agents 26: 343-356
Harborne JB. 2006. Metode Fitokimia. Padmawinata K, Soediro I, penerjemah; Niksolihin S, editor. Bandung: ITB. Terjemahan dari: Phytochemical Methods.
Macari PDAT, Portela CN, Polhit AM. 2006. Antioxidant, cycotoxic, and UVB-absorbing activity of Maynetus guyanensis Kloztch (Celastraceae) bark extract. Acta Amazonica 36: 513-518.
Mahajan M, Kumar V, Yadav SK. 2011. Effect of flavonoid-mediated free IAA regulation on growth and development of in vitro-grown tobacco seedlings. Journal of Plant Developmental Biology 5(1): 42-48
Markham KR. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Padmawinata K, penerjemah. Bandung: ITB. Terjemahan dari: Techniques of Flavonoid of Identification.
Nurulita Y, Dhanutirto H, Soemardji AA. 2005. Penapisan aktivitas dan senyawa antidiabetes ekstrak air daun dandang gendis (Clinacanthus nutans). Jurnal Natur Indonesia 10(2): 98-103
Pannangpetch P et al.. 2007. Antioxidant activity and protective effect against oxidative hemolysis of Clinacanthus nutans (Burm.f) Lindau. Songklanakarin J. Sci. Technol. 29: 1-9
Sakdarat S et al.. 2006. Chemical composition investigation of the Clinacanthus nutans Lindau leaves. The journal of Phytopharmacy 13(2): 13-24